Bagai petir di siang bolong, Marshanda menggugat cerai Ben Kasyafani ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat, akhir April 2014. Padahal, mereka baru satu tahun menikah, dan rumah tangga keduanya harmonis.Gugatan perceraian tersebut sontak menghebohkan dunia entertaiment, hingga berbagai komentar datang dari masyarakat.
Meski enggan menjelaskan inti permasalahan gugatan cerainya, Marshanda memastikan alasan menggugat cerai Ben karena terjadi perselisihan yang terus menerus, dan tidak bisa diselesaikan. Itu membuat Chacha memutuskan untuk pisah ranjang dari pria yang sudah memberinya satu anak.
Namun, Marshanda mengungkapkan permintaan maafnya kepada masyarakat, dan penggemarnya karena kecewa dengan gugatan perceraian yang dilayangkannya. Dia pun mengaku, tidak pernah merencanakan bercerai dengan Ben setelah memutuskan menikah dengan matan VJ MTV itu. Di tengah-tengah proses sidang perceraian, Ben sempat membuat geger karena mengeluh di social media.
Bahkan, Ben sempat mengunggah fotonya menunggu di depan pagar rumah
ibunda Chacha. Saat itu, Ben mengaku sulit berkomunikasi dengan Chacha. Pasangan inipun terlibat perang statement. Chacha
menganggap Ben tidak bias mengurus anak saat diberi kesempatan
menjenguk Sienna di tengah pembagian waktu antarmereka saat proses sidang
Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. [QS. Al-Baqarah : 195]
Ada
hadits yang pendek namun sarat makna, sering diungkap dan motivasi
taktis bagi iman yang sedang turun. Dikutip Imam Suyuthi dalam bukunya Al-Jami’ush Shaghir.
عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس
Diriwayatkan
dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu
bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap
ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi
manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Persiapan Menuju Manusia Bermanfaat
Untuk bisa menjadi orang yang banyak manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa hal dalam diri kita.
Pertama, tingkatkan derajat keimanan kita kepada Allah swt.
Sebab, amal tanpa pamrih adalah amal yang hanya mengharap ridho kepada
Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt.
saja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan
bisa beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.
Ketika
iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi
manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah
bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw.
memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki
berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah
saw. itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam
keadaan sesulit apapun.
Kedua,
untuk bisa memberi manfaat yang banyak kepada orang lain tanpa pamrih,
kita harus mengikis habis sifat egois dan rasa serakah terhadap materi
dari diri kita. Allah swt. memberi contoh kaum Anshor. Lihat surat
Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang
mereka butuhkan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika
kaum Muhajirin telah mapan secara financial, tidak terbetik di hati
mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.
Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan)
mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah
kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri
mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang
beruntung (QS.Al Hasyr : 9)
Yang
ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahwa sisa harta yang ada pada
diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang
ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah SAW. kepada kita.
Suatu
ketika Rasulullah SAW menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seoran
sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi,
Rasulullah SAW. bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab,
hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah SAW. mengoreksi jawaban sahabat
itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibagikan.
Begitulah.
Yang tersisa adalah yang telah dibagikan. Itulah milik kita yang
hakiki karena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging
paha yang belum dibagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak
sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan.
Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal,
maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis
lapuk karena waktu, hilang karena kematian kita, dan selalu menjadi
intaian ahli waris kita. Maka tak heran jika dalam sejarah kita melihat
bahwa para sahabat dan salafussaleh enteng saja meng-infakkan uang
yang mereka miliki di jalan Allah swt. Sampai sampai tidak terpikirkan
untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.
Keempat,
kita akan mudah memberi manfaat tanpa pamrih kepada orang lain jika
dibenak kita ada pemahaman bahwa sebagaimana kita memperlakukan seperti
itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu,
maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika
kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dapat
dari tetangga kita. Marilah ber-empati, membayangkan apa akibat yang
kita lakukan kepada orang lain. Sehingga bisa menjadi lebih baik di
kemudian hari.
Kelima, untuk bisa memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi.
Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, pikiran,
tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita bisa memberi
minum orang yang haus. Jika punya ilmu, kita bisa mengajarkan orang yang
tidak tahu. Ketika kita sehat, kita bisa membantu beban fisik orang
lain.
Marilah kita
bersosialisasi, bermuamalah sesuai yang telah disyariatkan Allah swt.
Orang yang benar-benar menuju taqwa bukanlah sekedar rajin ibadah
tetapi juga rajin “membuktikan” hasil ibadah dengan perilaku sosial
yang shaleh, bermanfaat bagi ingkungannya.
Jika
sobat merasa tidak/belum/kurang bermanfaat bagi manusia lain, bahkan
selalu menjadi kerugian bagi orang lain. Wajibkan diri introspeksi dan
perbaiki diri. Karena itulah jalan pembuktian keimanan yang sebenarnya.